Kenali 4 Bentuk KDRT dan Cara Menghadapinya

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: iStock Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: iStock

Jakarta: Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan tindak kekerasan yang terjadi dalam hubungan rumah tangga. Korbannya bisa menimpa suami, istri, bahkan anak-anak.

KDRT bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Mulai dari kekerasan verbal hingga fisik. Dirangkum dari Hello Sehat, berikut beberapa bentuk pelecehan yang tergolong dalam KDRT:

1. Kekerasan emosional atau psikologis

Kekerasan emosional atau psikologis umumnya berupa kekerasan verbal, seperti teriakan, ancaman, caci maki, penghinaan, dan intimidasi yang meremehkan seseorang. Ini juga dapat berupa isolasi dan pengendalian perilaku. Seperti memberi tahu korban cara bertindak atau berpakaian dan tidak memberikan kesempatan kepada korban untuk bertemu dengan keluarga atau teman.

Meski bekas dari bentuk kekerasan ini tidak tampak, dampak dari kekerasan emosional bisa sama-sama merusak korban. Contohnya, kehilangan kepercayaan diri hingga gangguan mental tertentu seperti depresi.

Baca: Agar Tak Jadi Korban, Kenali Ciri-ciri Catfishing dan Cara Menghadapinya

2. Kekerasan fisik

Sebagaimana namanya, kekerasan fisik dalam rumah tangga melibatkan tindakan yang menyakiti dengan menggunakan kekuatan fisik, termasuk memukul, menendang, membakar, mencubit, menampar, menggigit, menjambak, atau bentuk lainnya. Bentuk kekerasan ini menimbulkan dampak yang nyata, seperti memar, patah tulang, hingga kematian.

3. Kekerasan ekonomi

Kekerasan ekonomi dilakukan dengan menggunakan uang untuk mengontrol korban. Pelaku berupaya untuk membuat korban bergantung secara finansial dengan mengendalikan seluruh akses keuangan.

Ini bisa berupa mengontrol keuangan dengan ketat, membatasi uang saku atau menahan kartu kredit, memperhitungkan setiap lembar uang yang dibelanjakan, menahan kebutuhan dasar, membatasi atau melarang korban bekerja, hingga mencuri uang korban.

4. Kekerasan seksual

Jenis kekerasan seksual dalam rumah tangga biasanya berupa pemerkosaan dalam perkawinan. Namun, pemaksaan atau kekerasan seksual terhadap anak maupun orang lain yang menetap di lingkup rumah tangga juga kerap terjadi. Lebih lengkapnya, berikut bentuk-bentuk pelecehan seksual dalam KDRT berdasarkan definisi dari United Nations (UN):

- Menuduh pasangan selingkuh atau cemburu yang berlebihan pada pasangan,

- Memaksa berpakaian yang menarik secara seksual,

- Menghina dengan cara seksual atau memanggil dengan nama atau sebutan yang tidak senonoh,

- Memaksa atau memanipulasi untuk berhubungan seks,

- Menahan saat berhubungan seks,

- Menuntut berhubungan seks saat Anda sakit, lelah, atau setelah dipukuli,

- Menyakiti dengan benda atau senjata saat berhubungan seks,

- Melibatkan orang lain dalam melakukan aktivitas seksual dengan pasangan,

- Mengabaikan perasaan korban tentang seks.

Baca: Dampak Psikologis pada Korban Pemerkosaan Menurut Psikolog

Sama seperti kekerasan fisik, dampak dari bentuk pelecehan ini pun bisa tampak nyata. Dampak dari kekerasan seksual bisa berupa trauma fisik dan mental hingga berujung kematian.

Cara menghadapi KDRT

Bila Anda merasa menjadi korban KDRT, ada berbagai cara yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi permasalahan KDRT dan meninggalkan hubungan yang abusive seperti cara di bawah ini:

1. Memberi tahu orang lain yang dipercaya, seperti teman, tetangga, rekan kerja, atau anggota keluarga yang lain,

2. Mengamankan bukti menjadi korban KDRT. Bukti bisa berupa foto luka, atau rekaman atau email yang mengancam dari pelaku,

3. Menghubungi hotline terkait KDRT, seperti Komnas Perempuan di 021-3903963 atau email ke pengaduan@komnasperempuan.go.id, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di 021-380539 atau email ke pengaduan@kemenpppa.go.id, atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di 021-3900833 atau email ke pengaduan@kpai.go.id,

3. Membuat rencana untuk keluar rumah secara aman dan cari tempat tinggal lain yang lebih aman,

4. Melaporkan kejadian kepada kepolisian, baik di lokasi tempat korban berada maupun di dekat tempat kejadian perkara,

5. Melakukan terapi, terutama konseling pernikahan, untuk membantu memulihkan kondisi.



(UWA)

Berita Terkait