Tak Ada Ruang Bagi Ormas Radikal di Pemerintahan Jokowi

Presiden Joko Widodo/Medcom.id Presiden Joko Widodo/Medcom.id

Dadali: Selama Jokowi menjadi presiden, terdapat dua organisasi masyarakat (ormas) yang dibubarkan dan dihentikan kegiatannya, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Langkah tersebut membuktikan bahwa pada era Jokowi, kelompok-kelompok yang dianggap meresahkan dan radikal akan langsung ditindak tegas.

“Ini yang kemudian saya menduga, mendasari soal mazhab politik pemerintahan Jokowi saat ini, memang tidak pernah memberikan ruang sedikit pun kepada kelompok-kelompok ormas yang relatif meresahkan dan radikal yang kemudian tidak bisa diajak negoisasi,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno dalam diskusi virtual Crosscheck dengan tajuk “Awas! FPI Reborn“ yang disiarkan melalui akun YouTube Medcom.id pada Minggu, 3 Januari 2021.

Ia membandingkan penanganan ormas radikal di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Jokowi. Berbeda dengan Jokowi, SBY cenderung menerapkan politik zero enemy. Jadi, kelompok yang dianggap bertentangan seringkali diajak berdiskusi dan negoisasi. 

“FPI di zaman SBY juga sering kan melakukan sweeping, terutama di bulan puasa. Tetapi langkah-langkah mereka (FPI) sepertinya cukup bisa diukur oleh negara. Jadi daya rusaknya hanya segitu-segitu,” ucap Adi.

Tetapi bukan berarti pada pemerintahan Jokowi langkah persuasi belum pernah dilakukan. Seingatnya, seringkali pemerintah mengajak narasi keagamaan FPI kembali ke tengah dan tidak meresahkan masyarakat. 

“Pernyataan-pernyataan (FPI) yang suka mengkafir-kafirkan orang itu dalam banyak hal juga tidak membuat masyarakat nyaman,” tuturnya.

Di samping itu, pembubaran FPI tentunya akan menyisakan banyak footnote yang akan dikritisi oleh orang. Sebab, FPI bukanlah satu-satunya ormas yang meresahkan masyarakat. Tetapi, banyak ormas lain di luar sana juga yang melakukan tindakan tidak terpuji.

“Bukan hanya FPI yang meresahkan, banyak ormas yang tidak berbasis agama yang juga meresahkan dalam praktiknya,” jelas Adi.

Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Mahfud MD melarang seluruh aktivitas dan setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI). Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan bersama enam Pejabat Tertinggi di Kementerian dan Lembaga, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dengan adanya larangan ini, FPI tidak lagi memiliki legal standing, baik sebagai organisasi masyarakat maupun organisasi biasa. Pemerintah juga meminta masyarakat untuk tidak ikut andil dalam kegiatan yang menggunakan simbol maupun atribut FPI. Larangan ini berlaku sejak 30 Desember 2020.



(SYI)

Berita Terkait